
Yang menjadi
permulaan ceritera sejarah ini ialah pada waktu Negara Pajajaran yang semula
berpusat dekat Ciamis, diperintah oleh seorang raja yang bernama Prabu
Banjaransari.
Pada waktu sang Prabu Banjaransari ini memerintah, keadaan Negara Pajajaran
aman sejahtera dan rakyatnya hidup makmur, sehingga nama sang Prabu
Banjaransari termasyhur bukan saja di dalam negeri, tetapi juga sampai di luar
negeri.
Sang Prabu Banjaransari mempunyai banyak putra, akan tetapi sebagai pokok
pangkal sejarah Tuban ini kita mengambil salah satu di antara para putra sang
Prabu Banjaransari tersebut, yakni Raden Arya Metahun, yang kelak menurunkan
para Bupati Tuban. Sang Prabu Banjaransari berputra Raden Arya Metahun. Raden
Arya Metahun berputra Raden Arya Randu Kuning.
I. Kabupaten Lumajang Tengah
Raden Arya Randu Kuning ini mengembara ke arah timur, dengan seizin neneknya
yakni sang Prabu Banjaransari. Sampai di sebelah utara Kalakwilis Kecamatan
Jenu Tuban. Raden Arya Randu Kuning menghentikan pengembarannya, dan kemudian
membuka Hutan Srikandi yang terletak di tepi pantai dekat Gunung Kalakwilis
untuk dijelmakan menjadi sebuah negara. Berkat keinginan dan kemauannya untuk
menjadi bupati disertai dengan bekerja keras, maka lama-lama Hutan Srikandi
menjadi sebuah perkampungan, yang akhirnya menjadi sebuah kabupaten yang diberi
nama Kabupaten Lumajang Tengah dengan Raden Arya Randu Kuning sebagai
bupatinya, yang kemudian bergelar Kyai Ageng (Kyai Gede Lebe Lontong +
permulaan abad 12).
Alkisah ketika Kyai Gede Lebe Lontang menjadi Bupati Lumajang Tengah negara
dalam keadaan aman, sentosa, gemah ripah loh jinawi, rakyat hidup makmur. Itu
semuanya berkat kebijaksanaan dan kesaktian yang menimbulkan pribawa pribadi
sang Bupati Lebe Lontang yang diperoleh dengan melakukan yoga, dan selalu
berikhtiar dengan menggunakan daya kekuatannya agar kerajaan dan rakyatnya
selalu hidup makmur, aman dan sejahtera.
Bekas wilayah Lumajang Tengah didapat kembali dalam hutan sebelah timur laut
tempat pemberhentian Kereta Pos Bogang (Kecamatan Jenu).
Kyai Ageng Lebe Lontang ini menjadi bupati di Lumajang Tengah lamanya 22 tahun.
II. Kabupaten Gumenggeng
Kyai Ageng Lebe Lontang berputra seorang bernama Raden Arya Bangah, yang
mempunyai kesaktian lebih dari ayahnya, lagi pula mempunyai paras yang elok,
sehingga para gadis remaja jatuh cinta dengan tidak disadari oleh Arya Bangah.
Akan tetapi setelah ayahnya mangkat, Raden Arya Bangah tidak mau diangkat
menjadi Bupati Lumajang Tengah menggantikan ayahnya, tetapi Raden Arya Bangah
mempunyai keinginan keras akan mendirikan kabupaten sendiri. Akhirnya
diputuskan pergi mengembara menuju ke arah selatan dengan diikuti keluarga dan
rakyatnya. Setelah sampai di kaki gunung Rengel, Raden Arya Bangah beserta
pengikutnya menghentikan perjalanan. Dan kemudian membuka hutan akan dijadikan
perkampungan.
Lama-lama perkampungan tersebut menjadi sebuah kabupaten yang diberi nama
Gumenggeng. Sebagaimana ayahnya, Kabupaten Gumenggeng ini menjadi kabupaten
yang aman sejahtera, dan rakyatnya hidup tenang dan makmur. Bekas kabupaten
tersebut sekarang menjadi Desa Banjaragung (Kecamatan Rengel).
Raden Arya Bangah mempunyai seorang putra bernama Arya Dandang Miring. Setelah
memerintah 22 tahun, Raden Arya Bangah mangkat. Semasa hidup ayahnya, Redan,
Arya Dandang Miring ini suka bertapa, kadang-kadang mengembara di tempat-tempat
yang sunyi, dengan maksud minta kepada para dewata, agar keturunannya kelak
dapat menjadi bupati prajurit dan negara yang akan diperintahnya selalu dalam
keadaan aman tenteram, lagi pula rakyatnya dapat hidup makmur. Karena sangat
kuat dan tabahnya Raden Arya Dandang Miring menyatukan cipta dan kehendaknya,
akhirnya permintaannya dikabulkan oleh dewata yang mulia dan dalam bersamadi,
Raden Arya Dandang Miring mendapatkan ilham yaitu : Semangkat ayahnya kelak, ia
tidak diperkenankan menjadi bupati di Gumenggeng, sebab kalau tetap menjadi
bupati di Gumenggeng, apa yang dicita-citakan tidak akan tercapai. Untuk
mencapai cita-cita itu ia harus membuka hutan sendiri yang letaknya di sebelah
barat laut dari Kabupaten Gumenggeng, dan lagi kabupaten tersebut hanya khusus
untuk Raden Arya Dandang Miring sendiri. Permintaannya baru terkabul jika
putranya kelak membuka hutan yang bernama Papringan dan setelah dibuka, supaya
diberi nama Tuban. Dan putranya itulah kelak yang dapat menurunkan para Bupati
Tuban turun temurun dan Kabupaten Tuban akan menjadi kabupaten yang aman
tenteram, lagi rakyatnya hidup makmur sesuai dengan permintaannya, juga akan
menjadi tempat peristirahatan (makam) para wali atau para aulia dari Negeri
Arab, kalau sudah tiba waktunya. Zaman itu adalah zaman masuknya kebudayaan
Hindu di Pulau Nusantara dan menurut ramalan itu, kelak Tuban akan memasuki
babak baru dimana agama Islam mulai berkembang (3 abad kemudian yaitu abad 15).
Perintah Dewata yang mulia (ilham) yang diterima itu, dilaksanakan oleh Raden
Arya Dandang Miring.
III. Kabupaten Lumajang
Oleh karenanya setelah ayahnya mangkat Raden Dandang Miring tidak mau
menggantikan ayahnya menjadi Bupati Gumenggeng, akan tetapi memerintahkan
kepada semua penggawa dan rakyatnya membuka hutan yang bernama Ancer yang
letaknya di sebelah barat laut Kabupaten Gumenggeng. Setelah pembukaan hutan
tersebut selesai, lalu diberi nama Lumajang. Raden Arya Dandang Miring berputra
seorang yang diberi nama Raden Dandang Wacana, parasnya sangat bagus, sakti
lagi berbudi maha pendeta utama, dengan demikian sangat dikasihi oleh
rakyatnya. Sedang Bupati Raden Arya Dandang Miring memerintah Negara Lumajang
dengan aman sentosa, rakyat dan penggawa sangat kasih kepada beliau. Negara dan
rakyat dalam keadaan aman sentosa, sehingga penduduknya tidak mengenal pencuri
dan kekurangan. Setelah Raden Arya Dandang Miring memerintah Lumajang selama 20
tahun, kemudian mangkat. Sebelum beliau mangkat, beliau berpesan kepada
putranya Raden Arya Dandang Wacana supaya melakukan ilham yang diterima dari
dewata mulia, yakni membuka Hutan Papringan untuk dijadikan negara.
Semangat ayahnya, Raden Arya Dandang Wacana melaksanakan apa yang diperintahkan
oleh ayahnya. Rakyat beserta penggawa Kabupaten Lumajang, diperintahkan membuka
Hutan Papringan dan setelah pembukaan tersebut selesai, kemudian diberi nama
Tuban.
IV. Kabupaten Tuban
Pada waktu pembukaan Hutan Papringan, keluarlah dengan tidak terduga Sumber
Air, Metu Banyu (bahasa Jawa) yang kemudian disingkat menjadi Tu-Ban, merupakan
nama wilayah kabupaten yang spontan diberikan oleh Raden Arya Dandang Wacana,
sumber air ini sangat sejuk dan meskipun terletak di tepi pantai utara Pulau
Jawa, mata air tadi tidak bergaram, lain halnya dengan pantai kota-kota
lainnya.
Bupati ke I
Dalam pemerintahan Raden Arya Dandang Wacana negara dan rakyat selalu dalam
keadaan aman dan sejahtera, pencuri perampok tidak dikenal oleh penduduk.
Sandang pangan berlimpah-limpah, penduduk tak pernah merasa kekurangan. Siang
malam selalu ramai, hampir tak ada bedanya. Oleh karena itu penduduk sangat
cinta dan kasih kepada sang Bupati Raden Arya Dandang Wacana.
Setelah 3 tahun memegang pemerintahan Raden Arya Dandang Wacana memerintahkan
membuat Pesanggrahan. Pesanggrahan ini dikelilingi parit dan kolam, ditanami
dengan aneka macam pohon yang menyebabkan Pesanggrahan tersebut rindang dan
membuat pemandangan yang sangat indah dan menarik. Pesanggrahan tersebut kini
diberi nama “Bekti” dan nama ini diambilkan dari kata “Pangabekti” (bahasa
Jawa). Sebab jika sang Bupati Raden Arya Dandang Wacana sedang beristirahat di
Pesanggrahan tersebut, banyak penggawa dan rakyat yang berdatang sembah
(mengabekti). Dan sekarang Pesanggrahan dan desa tersebut namanya menjadi
“Bektiharjo” (Harjo = rejo, banyak pengunjung). Perlu diketahui bahwa Raden
Arya Dandang Wacana juga berganti nama Kyai Gede Papringan. Setelah memerintah
20 tahun Bupati Dandang Wacana mangkat, jenazahnya dimakamkan di dekat
Kaligunting Desa Prunggahan Kulon, Kecamatan Semanding.
Kabupaten Tuban yang tersebut pertama tadi, sekarang menjadi 3 desa yakni :
“Dukuh Trowulan, Desa Prunggahan Kulon dan Desa Prunggahan Wetan.” Hingga
sekarang para wanita kelahiran 3 desa tersebut, terkenal akan kecantikannya dan
terdapat ciri khas yakni “dekik” (bahasa Jawa) pada pipinya. Kecantikan
wanita-wanita tersebut bagaikan bidadari yang mengejawantah, oleh karena itu
para pemuda boleh pilih untuk dijadikan teman hidupnya. Agar mudah diingat,
para bupati yang pernah memerintah dalam Kabupaten Tuban, kami beri nomor urut.
Bupati pertama dari Kabupaten Tuban ialah Raden Arya Dandang Wacana (Kyai Ageng
Papringan, sebab Raden Arya Dandang Wacanalah yang mendirikan kabupaten dengan
nama Tuban. Menurut babad Tuban karangan E.J. Jasper, Tuban merupakan daerah
Andahan, (vazalstaat) dari Majapahit, sejak Arya Dikara menjadi Bupati Tuban,
bupati yang terakhir ini (yang ke 6 dari daftar Bupati Tuban) setelah mempunyai
menantu Syeh Ngabdur¬rahman, kemudian memeluk agama Islam (abad ke15). Kyai
Ageng Papringan berputra 2 orang, yakni Nyai Ageng Lanang Jaya dan Nyai Ageng
Ngeksa. Nyai Ageng Lanang Jaya berputra seorang yang diberi nama Raden Ronggolawe,
Nyai Ageng Ngeksa berputra seorang yang diberi nama Raden Arya Kebo Anabrang.
Bupati ke II
Setelah neneknya mangkat (Kyai Ageng Papringan) yang menggantikan jadi bupati
yakni cucunya Raden Hariyo Ronggolawe. Setelah Raden Hariyo Ronggolawe memegang
tampuk pemerintahan, rumah kabupaten dipindah sebelah barat Guwo Akbar. Bekas
kabupaten sekarang dipergunakan untuk makam Bakung Kecamatan Semanding).
Bupati ke III
Sesudah Raden Ronggolawe mangkat, Raden Sirolawe menggantikan ayahnya menjadi
Bupati Tuban. Beliau memerintah selama 15 tahun dan mangkat.
Bupati ke IV
Raden Hariyo Sirolawe berputra seorang bernama Raden Hariyo Sirowenang dan
setelah ayahnya mangkat ia menjadi bupati. Pemerintahan Sirolawe berlangsung
selama 43 tahun.
Bupati ke V
Setelah Raden Hariyo Sirowenang mangkat, diganti oleh puteranya, Raden Hariyo
Lena. Pemerintahan berlangsung selama + 52 tahun dan pada pemerintahannya rumah
kabupaten dipindahkan ke Desa Doromukti (Kecamatan Kota Tuban).
Bupati ke VI
Setelah mangkatnya Raden Hariyo Leno, Raden Hariyo Dikara puteranya
menggantikan menjadi bupati. Beliau memerintah selama 18 tahun dan kabupatennya
berdiri tetap di Desa Doromukti. Beliau mempunyai putera 2 orang yakni : Raden
Ayu Hariyo Tejo dan Kyai Ageng Ngraseh. Kemudian Raden Ayu Hariyo Tejo menjadi
isteri Syeh Ngabdurahman, putera Syeh Jali/Syeh Jalaludin/Kyai Makam
Dawa/Ngalimurtala dari Gresik (saudara Sunan Ngampel). Sejak pemerintahan
Bupati Raden Dikara, Bupati Tuban memeluk agama Islam.
Bupati ke VII
Setelah Bupati Raden Hariyo Dikara mangkat yang menggan¬tikan menantunya Syeh
Ngabdurahman dan kemudian berganti nama Raden Hariyo Tejo. Beliau memerintah
selama + 41 tahun (tahun 1460). Dibawah pemerintahan Bupati Raden Hariyo Tejo
inilah, maka Tuban sebagai daerah andalan Majapahit, turut memberontak membantu
Raden Patah melawan Brawijaya. Majapahit jatuh kedalam kekuasaan Raden Patah
tahun 1478, yang kemudian menjadi Sultan Demak dan sejak itu Tuban ada di bawah
Demak.
Bupati ke VIII
Raden Hariyo Tejo mempunyai seorang putera yang diberi nama Raden Hariyo
Wilatikta dan setelah ayahnya mangkat, beliau yang menggantikan. Pemerintahan
Bupati Hariyo Wilatikta ini berlangsung selama + 40 tahun.
Bupati ke IX
Setelah Raden Hariyo Wilatikta mangkat, yang menggantikan menjadi bupati ialah
Kyai Ageng Ngraseh, yang kemudian kawin dengan Putera Raden Hariyo Wilatikta.
Setelah memerintah + 40 tahun mangkat.
Bupati ke X
Perkawinan Kyai Ageng Ngraseh dengan putra putri Raden Hariyo Wilatikta
berputera seorang yang diberi nama Kyai Ageng Gegilang yang kemudian
menggantikan ayahnya. Pemerintahannya berlangsung selama + 38 tahun.
Bupati ke XI
Penggantian Kyai Ageng Gegilang ialah yang bernama Kyai Ageng Batabang. Beliau
mangkat setelah memerintah selama 14 tahun lamanya.
Bupati ke XII
Pengganti Bupati Kyai Ageng Batabang ini putra tunggalnya ialah Raden Hariyo
Balewot. Beliau memerintah selama + 56 tahun kemudian mangkat.
Bupati ke XIII
Bupati Hariyo Balewot mempunyai 2 orang putra yakni Pangeran Sekartanjung dan
Pangeran Ngangsar. Setelah Bupati Raden Hariyo Balewot mangkat yang
menggantikan ialah puteranya sulung yaitu Pangeran Sekartanjung.
Bupati ini terbunuh waktu beliau sedang bersembahyang Jum’at dengan ditusuk
Pusaka Lilam Upih yang bernama Kyai Loyan dari belakang oleh adiknya yaitu Pangeran
Ngangsar. Tusukan ini menembus punggung dan dada dan akhirnya Bupati Pangeran
Sekartanjung mangkat. Pemerintahannya berlangsung selama + 22 tahun dan
mempunyai putra 2 orang yaitu Pangeran Hariyo Permalat dan Hariyo Salampe,
waktu ayahnya mangkat kedua putranya masih kecil.
Bupati ke XIV
Pengganti Bupati Pangeran Sekartanjung ialah adiknya Pangeran Ngangsar. Baru
memerintah 7 tahun beliau mangkat.
Bupati ke XV
Setelah Bupati Pangeran Ngangsar mangkat, yang menggantikan ialah Pangeran
Hariyo Permalat, sekira pada tahun 1568 bupati ini kemudian kawin dengan putra
putri Kanjeng Sultan Pajang (Raden Jaka Tingkir), Raden Jaka Tingkir menjadi
Sultan Pajang tahun 1568 dan Tuban termasuk daerah kekuasaannya.
Beliau mempunyai seorang putra diberi nama Pangeran Dalem. Setelah memerintah
selama + 38 tahun kemudian mangkat, pada masa itu Pangeran Dalem masih kecil.
Bupati ke XVI
Karena Pangeran Dalem masih kecil, maka yang menggantikan Bupati Pangeran
Hariyo Permalat ialah Hariyo Salampe. Pemerintahan bupati ini berlangsung
selama + 32 tahun dan kemudian mangkat.
Bupati ke XVII
Setelah Bupati Hariyo Salampe mangkat, digantikan oleh Pangeran Dalem. Pada
masa pemerintahan, beliau memindah rumah kabupaten ke Kampung Dagan (Kota
Tuban) sebelah selatan Watu tiban. Di samping itu beliau mendirikan masjid dan
benteng di luar kota, terletak di Guwo Akbar membujur dari timur ke barat.
Pembuatan benteng ini, Kyai Mohammad Asngari yang ditugaskan, sebagian dari
benteng ternyata belum dapat diselesaikan pada waktunya. Dan ketika hal ini
diketahui oleh Bupati Pangeran Dalem, Kyai Mohamad Asngari dipanggil menghadap
ke kabupaten. Setelah Kyai Mohamad Asngari menghadap, Bupati Pangeran Dalem
memerintahkan agar benteng tersebut lekas dapat, diselesaikan, dan bilamana
tidak, Kyai Mohammad Asngari akan menerima hukuman, hal mana disanggupi. Dengan
hati sedih Kyai pulang dan pada malam harinya ia bersamadi. Permintaannya,
dikabulkan oleh Yang Maha Kuasa dan pada pagi harinya benteng yang dimaksud
telah jadi dengan megahnya. Hal mana sangat mengagumkan penduduk di sekitarnya
juga Bupati Pangeran Dalem. Karena indah lagi besar, maka benteng tersebut oleh
Pangeran Dalem diberi nama Benteng Kumbakarna. Dan sejak itu pulalah maka Kyai
Mohammad Asngari termashur karena kesaktian ilmunya.
Hal pembuatan benteng terdengar juga oleh Sultan Mataram Hanyakra Kusuma
saudara dari Martadipura putra dari Panembahan Seda Krapyak (Panembahan Seda
Krapyak putra dari Sutawijaya), dan diketahui pula bahwa Bupati Pangeran Dalem
akan melepaskan diri dari Sultan Mataram (1614). Hal tersebut dapat diketahui
oleh Sri Sultan dengan bukti Benteng Kumbakarna yang didirikan oleh Bupati
Pangeran Dalem. Untuk membuktikan dugaan tersebut Sri Sultan secara diam-diam
mengirimkan utusan ke Tuban untuk menyelidiki akan kebenarannya. Yang mendapat
tugas menjadi mata-mata ialah Kyai Randu Watang. Dalam menjalankan tugas
mata-mata tersebut, Kyai Randu Watang setibanya di Tuban menanam 2 batang pohon
randu alas sebagai tanda bukti bahwa Kyai Randu Watang telah sampai di Tuban. Tugas
yang diberikan oleh Sri Sultan dapat dilaksanakan dengan baik, dan dapat
diketahui olehnya bahwa benar-benar Bupati Pangeran Dalem ingin melepaskan diri
dari kekuasaan Mataram. Kemudian ia lekas-lekas kembali ke Mataram untuk
melaporkan hal tersebut kepada Sri Sultan. Setelah Sri Sultan mendengarkan
laporan itu beliau sangat murka. Untuk mencegah maksud Bupati Pangeran Dalem
tersebut, Sri Sultan mengirimkan 35.000 orang prajurit yang dipimpin oleh
Pangeran Pojok ke Tuban.
Sebaliknya Bupati Pangeran Dalem setelah mendengar bahwa Prajurit Mataram akan
menyerang Tuban, beliau memerintahkan kepada semua prajurit berjaga-jaga akan
segala kemungkinan yang akan terjadi. Kedatangan prajurit-prajurit Mataram
disambut dengan pertempuran oleh Prajurit Tuban. Pertumpahan darah terjadi, dan
kedua belah pihak menderita kerugian yang besar. Mula-mula prajurit-prajurit
Tuban disemua medan mendapat kemenangan, tetapi karena jumlah prajurit Mataram
lebih banyak, maka akhirnya Prajurit Tuban banyak yang lari dan menyerah (1619).
Setelah diketahui bahwa Prajurit Tuban banyak yang lari dan menyerah Bupati
Pangeran Dalem melarikan diri ke Pulau Bawean. Tetapi di Pulau Bawean beliau
tidak lama tinggal kemudian pergi ke Desa Rajekwesi (Bojonegoro sekarang). Pada
waktu itu Rajekwesi masih merupakan hutan dan di bawah pemerintahan Jipang
Panolan. Setelah menetap 5 tahun lamanya di Rajekwesi, Pangeran Dalem mangkat
dan dimakamkan di Desa Kadipaten terletak di sebelah timur Kota Bojonegoro.
Hingga kini makam tersebut masih ada, terkenal dengan nama makam Buyut Dalem.
Pada waktu peperangan sedang berkobar, meriam pusaka Kyai Sidomurti yang
ditempatkan di Desa Kepohdondong (Palang) hilang tak berbekas. Menurut E.J.
Jasper, meriam tersebut asal hadiah dari Portugis atau dari Belanda dan jatuh
di tangan Tentara Mataram. Setelah peperangan berakhir dengan kekalahan Tuban,
Pangeran Pojok segera memberi laporan kepada Sri Sultan. Atas perintah Sri
Sultan, Pangeran Pojok diizinkan menjadi bupati di Tuban.
Bupati ke XVIII
Pangeran Pojok memegang pemerintahan selama + 42 tahun. Pada Hari Gerebeg
Maulud tahun Dal semua bupati di seluruh tanah Jawa datang ke Mataram untuk
menghadap Sri Sultan. Demikian pula halnya dengan Bupati Pangeran Pojok. Tetapi
ketika perjalanan beliau menuju Mataram sampai Blora, beliau mendadak sakit dan
mangkat di situ juga. Jenazahnya dimakamkan di sebelah selatan alun-alun Blora.
Pada waktu beliau mangkat para putra masih kecil, oleh karena itu tidak dapat
menggantikan jadi bupati.
Bupati ke XIX
Penggantinya ialah Pangeran Anom adik Pangeran Pojok. Dan setelah Pangeran Anom
memegang pemerintahan selama 12 tahun atas perintah Sri Sultan, Pangeran Anom
diberhentikan dari jabatan. Di Kabupaten Tuban untuk sementara waktu, jabatan
bupati ditiadakan dan hanya diberi perwakilan (Umbul) 4 orang yakni : 1.
Wongsoprojo bertempat di Jenu, 2. Wongsohito bertempat di Gresik, 3.
Wongsocokro di Kidulngardi, 4. Yudoputro bertempat di Singgahan.
Bupati ke XX
Selanjutnya yang jadi bupati ialah Pangeran Sujokopuro atau Yudonegoro dan
kabupaten bertempat di Prunggahan Kulon (Kecamatan Semanding).
Bupati ke XXI
Untuk mengisi lowongan jabatan bupati di Tuban, setelah Yudonegoro, oleh Sri
Sultan diangkat Arya Balabar atau Arya Blender asal dari Mataram. Dan
pemerintahan Arya Blender, rumah kabupaten dipindahkan ke Kampung Kaibon yang
terletak di sebelah selatan makam Kyai Kusen (Kota Tuban). Beliau mangkat
setelah memerintah + 39 tahun, membuat masjid sebelah barat makam Sunan Bonang.
Bupati ke XXII
Pengganti Bupati Arya Balabar ialah Pangeran Sujonoputro, Bupati Japanan
(Mojokerto). Pada masa pemerintahan bupati ini rumah kabupaten dipindahkan ke
Desa Prunggahan (Semanding), pemerintahan beliau berlangsung selama 10 tahun,
kemudian mangkat dan dimakamkan di Desa Boto.
Bupati ke XXIII
Yang menggantikan ialah Putra Pangeran Judonegoro. Beliau mangkat setelah
memerintah 15 tahun dan jenazahnya dimakamkan di Giri.
Bupati ke XXIV
Setelah Bupati Pangeran Yudonegoro mangkat, penggantinya adalah Raden Arya
Surodiningrat, bupati dari Pekalongan. Pada masa pemerintahan Raden Arya
Surodiningrat, terjadi pemberontakan yang dipimpin oleh Raden Arya Diposono dan
dibantu oleh Kyai Mangunjoyo asal dari Madura. Bupati Arya Surodiningrat
mangkat dalam peperangan melawan kaum pemberontak setelah memegang pemerintahan
selama 12 tahun lamanya.
Bupati ke XXV
Setelah dapat mengalahkan Bupati Raden Arya Suryodiningrat, Raden Aryo
Diposono menggantikan jadi bupati. Setelah 16 tahun lamanya beliau memerintah
Kabupaten Tuban, terjadilah peperangan melawan orang Madura. Peperangan ini
berlangsung di Desa Singkul atau Sedayu. Raden Aryo Diposono mangkat dalam
peperangan ini. Jenazahnya dimakamkan di Desa Singkul juga.
Bupati ke XXVI
Kyai Reksonegoro Patih Tuban setelah itu menjadi bupati berganti nama Kyai
Tumenggung Cokronegoro. Mangkat setelah memerintah selama 47 tahun. Jenazahnya
dimakamkan di Desa Dagangan (Kecamatan Parengan). Karena banyak berjasa kepada
negara, Kyai Tumenggung Cokronegoro diberi pangkat kehormatan “Adipati”,
Menurut J.E. Jasper tahun 1773 Gubernur van de Burgh mengusulkan pada Sultan
Mataram supaya Bupati Tuban Mas Reksonegoro atau Mas Tumenggung Cokronegoro
dipecat, karena pemerintahannya memberatkan penduduk dan tak dapat memenuhi
tugasnya membayar upeti pada pemerintahan Belanda.
Bupati ke XXVII
Pengganti Adipati Cokronegoro ialah putranya yakni Kyai Purwonegoro. Ketika
pemerintahan Bupati Purwonegoro ini berlangsung + 24 tahun, beliau sakit dan
mengambil perlop atau cuti dan pergi ke Demak. Sakit beliau tidak berkurang,
bahkan makin parah, akhirnya mangkat dan jenazahnya dimakamkan di Demak juga.
Bupati Purwonegoro juga terkenal dengan sebutan Bupati Perlop, yakni asal dari
kata “perlop” atau “cuti”.
Bupati ke XXVIII
Setelah Bupati Purwonegoro mangkat, penggantinya ialah Bupati Kyai Lieder
Surodinegoro (Lieder = Ridder in de Orde van Oranje Nassau = nama bintang
jasa). Pemerintahan Bupati Kyai Lieder Surodinegoro ini hanya berlangsung
selama 3 tahun dan kemudian mangkat.
Bupati ke XXIX
Setelah Bupati Lieder Suryoadiwijoyo mangkat, diganti oleh putranya, yakni
Raden Suryoadiwijoyo atau Raden Tumenggung Suryodinegoro. Pada masa
pemerintahannya beliau memerintahkan memindah rumah kabupaten ke Kampung Gowah
(Desa Sendangharjo Tuban). Pembuatan rumah kabupaten ini dapat diselesaikan
pada tanggal 1 Juli 1814. Pemerintahan Bupati Raden Suryoadinegoro ini
berlangsung selama 12 tahun dan berhenti.
Bupati ke XXX
Pengganti Bupati Raden Suryoadinegoro ini adalah Bupati Pangeran Citrasoma
ke VI, asal Bupati Jepara atau nomor VI urutan dari Jepara. Pemerintahan Bupati
Pangeran Citrasoma ke VI ha¬nya berlangsung selama 6 tahun, kemudian
dipindahkan ke Lasem. Selama 3 tahun, terus dipindahkan lagi ke Jepara.
Pembuatan ru¬mah kabupaten tahun 1821, yang menjadi tempat kediaman para bupati
sampai sekarang.
Bupati ke XXXI
Pengganti Bupati Pangeran Citrasoma ke VI ini ialah Bupati Pangeran Citrasoma
ke VII atau dihitung dari Tuban, Citrasoma II. Setelah memerintah selama 20
tahun mangkat.
Bupati ke XXXII
Pengganti Bupati Citrasoma ke VII ialah Bupati Pangeran Citrasoma ke VIII atau
dari Tuban ke III. Memerintah selama 20 tahun, kemudian pensiun.
Bupati ke XXXIII
Pengganti Bupati Pangeran Citrasoma ke VIII, ialah Bupati Raden Tumenggung
Panji Citrasoma ke IX atau Tuban ke IV, setelah memerintah 22 tahun kemudian
dipensiun.
Bupati ke XXXIV
Setelah Bupati Raden Tumenggung Citrasoma ke IX pensiun, diganti oleh Raden Mas
Somobroto tahun 1892, setelah memerintah 4 bulan mangkat, jenazahnya dimakamkan
di makam Astana Bonang.
Bupati ke XXXV
Setelah Raden Mas Tumenggung Somobroto mangkat diganti oleh menantunya
ialah Raden Adipati Arya Kusumodigdo. Beliau mangkat setelah memerintah selama
16 tahun dan jenazahnya dimakamkan di Astana Makampati Tuban (tahun 1893¬1911).
Bupati ke XXXVI
Pengganti Raden Adipati Arya Kusumodigdo kakaknya Raden Tumenggung
Pringgowinoto asal Patih Rembang 1911-1919. Pada tahun 1920 di Tuban dimulai
jalan Kereta Api NIS.
BUPATI KE XXXVII : R.AA. PRINGGODIGDO/KUSUMODININGRTA 1919-1927
BUPATI KE XXXVIII : R.M.A.A. KUSUMOBROTO 1927-1944
BUPATI KE XXXIX : R.T. SUDIMAN HADIATMODJO 1944-1946
BUPATI KE XL : R.H. Mustain 1946-1956
BUPATI KE XLI : R. Sundaru 1956-1958
BUPATI KE XLII : R. Istomo 1958-1960
BUPATI KE XLIII : M. Widagdo 1960-1968
BUPATI KE XLIV : R. Soeparmo 1968-1970 (p.d.) (Penyusun Catatan Sejarah Tuban)
BUPATI KE XLV : R. H. Irchamni 1970-1975
BUPATI KE XLVI : H. Moch. Masdoeki 1975-1980
BUPATI KE XLVII : Surati Moersam 1980 - 1985
BUPATI KE XLVIII : Drs. Djoewahiri Marto Prawiro 1985 - 1991
BUPATI KE XLIX : Drs. H. Sjoekoer Soetomo 1991-
BUPATI KE XLX : Hindarto 1996 - 2001
BUPATI KE XLXI : Dra. Haeny Relawati Rini Widiastuti, MSi 2001 – 2011
BUPATI KE
XLXII: Drs. KH.FATHUL HUDA,M.M. (2011-Sekarang).